Portalkata Indonesia

Linguistic, Literacy, and Education


Medali Pejalan Kaki


Berjalan kaki telah banyak ditinggalkan warga desa dan kota. Ada yang baru meninggalkan 2 tahun ada juga yang sudah berpuluh tahun. Alasannya standar. Lebih cepat pakai motor biar hemat waktu. Dan alasan paling mainstream, karena malas.

Berjalan kaki secara ilmiah berdampak multi dibanding olahraga indoor

Tidak sengaja minggu lalu usai menemani anak-anak belajar, saya ajak mereka berjalan kaki ke sebuah bukit di sekitar. Ajaknya 2 anak saja, tapi yang ikut nyaris sekelas. Mau ditolak, mereka memelas.

Sengaja saya lepas semua gadget. Anak-anak menyayangkan karena tidak bisa berfoto bersama. Sempat saya sesalkan juga karena jadi tidak bisa membuat dokumentasi. Tapi, saya pilih mantap melepas semua gadget.

Selesai mengerjakan tugas lanjut berjalan kaki ke sebuah bukit

Alhasil, saya tersadar setelah ada di puncak bukit. Saya mikir kok bisa sudah berjalan kaki sekian jauh, tapi nafas sama sekali tidak ngos-ngosan. Dan yang ajaib, tidak ada lelah dan capek. “Lah…lah…lah kok bisa,” pikirku.

Suasana saat sampai di bukit, anak-anak berlarian ke tempat yang mereka inginkan. Di saat itu saya coba mengingat-ingat apa yang terjadi sepanjang perjalanan kurang lebih 7 Km. 

Apa yang membuat perjalanan menanjaki bukit tidak terasa lelah: Pertama, pikiran hadir di ruang saat itu. Baik di dalam bangunan atau di alam terbuka, kita hadirkan diri di situ. Dengan begitu, kita seperti menjaga keawasan berada di suatu tempat. Keawasan bukanlah ketegangan. Ia hanya salah satu bentuk kesadaran.

Saya dikelilingi anak-anak dalam perjalanan menanjak, berkelok, dan tidak beraspal, dengan deretan pohon tinggi di kiri kanan jalan. Faktor keadaan saya saat itu ideal: anak-anak dan panorama alam yang sejuk. 

Keadaan itu praktis memberi kesadaran akan keberadaan diri yang memudahkan saya menerima sekaligus bersyukur. Namun, bayangkan ketika kita berada di sebuah sel penjara, misalnya. Apakah bersikap menerima dan berterima kasih semudah saat kita berada di padang bunga?

Kedua, pikiran hadir dengan kesadaran sedang bersama siapakah kita saat itu. Pada kasus ini, saya bersama anak-anak. Dan anak-anak adalah jenis manusia dengan frekuensi tinggi. Ngobrolnya anak-anak memang begitu, sebagaimana dulu kita kecil. Bagi sebagian orang dewasa, biasanya terbetik, “ngomong apaan ini anak?” atau “yaa ampun kok tanya itu melulu, diulang-ulang lagi!” atau “yaa, gitu aja ditanyain…”

Meski demikian, pikiran yang hadir bersama anak-anak justru bertujuan saling menyelaraskan. Ketika selaras, kita bisa masuk ke alam pikiran anak-anak, dan anak-anak itu dapat mengerti maksud kita. Ngobrol, menjawab pertanyaan, berkomunikasi jadi asyik sementara kaki terus melangkah.

Situasi saya saat itu adalah kondisi spontan, pertemuan dengan anak-anak tidak intensif, belum mengenal keseharian, dan ideal karena watak dasar anak-anak berfrekuensi tinggi. Secara alami kondisi itu memudahkan saya menerima, kemudian berterima kasih, dan bersyukur.

Beda lagi misal, ketika kita berada dalam situasi bersama seseorang baik di tempat kerja, sekolah, atau rumah tangga. Meski intensif bertemu, bisa jadi bersama atau tidak bersamanya, pikiran kita kerap tak hadir bersamanya. 

Jika demikian, sudah dipastikan perjalanan menuju puncak bukit akan terasa melelahkan dan menjemukan. Muncul perasaan tidak ingin meneruskan, maunya balik lagi ke rumah atau cari warung, jajan, duduk-duduk di pinggir jalan, atau cari jalan lain berubah haluan.

Anak-anak yang tak sabaran bertanya, “lantas kalau sudah di puncak bukit memang ada apa?” Ada dua jawaban: Pertama, bisa jadi dianggap tidak ada apa-apa. Panorama lembah, hutan, langit lapang, padang rumput, tanah gundul, dll. Keadaan ini dianggap tidak ada apa-apa. Karena itu semua sudah pernah dilihat, kita jadi menganggapnya biasa. Terkadang sesuatu yang terbayang indah ternyata fatamorgana.

Jawaban kedua, saya ambil dari anak-anak juga. “Hayu tong rea ngeluh. Jalan wee. Bisa kieu (jalan kaki bersama) ge geus reusep!,” sanggah Fadil. Anak-anak punya jawaban natural. Mereka tak berharap ada kejutan saat sampai di puncak bukit. Tetapi mereka tidak persoalkan itu dan tidak gusar. Hampir semua anak mengaku merasa senang dan menikmati perjalanannya, meski mereka belum bisa membahasakannya.

Dan bagi kita yang dewasa, terutama dalam pandangan muslim, sikap bersyukur atas sebuah perjalanan adalah ketika kita mampu berterima kasih kepada Allah SWT dengan kesadaran bahwa alasan seluruh alam semesta dan isinya diciptakan Allah Swt adalah demi kekasihNya, manusia berbudi pekerti terluhur, Baginda Muhammad Saw.

Teorinya tampak mudah, praktiknya memerlukan langkah dan usaha. Saya pun masih terus belajar dari guru saya, anak-anak itu. Ceritanya, kami akan adakan final futsal usai syarat belajar full matematika bersama Wa Guru selama 3 minggu dihadiri para pemain. Dan ketika disampaikan bahwa hadiah final futsal adalah alat tulis sekolah, mereka menolak dan menjawab:

“Jangan alat tulis sekolah, Mom. Kita nanti minta orangtua beli. Mending hadiahnya, piala dan medali saja,” ucap Iki, Fadil dan Aziel sore itu. Dari cerita itu, anak-anak mengerti secara fitrah bahwa mereka butuh pengakuan atas usaha belajar maupun tandingnya. Bukan wujud barang-barang non-simbolis, justru piala, medali, atau karangan bunga dianggap simbol pengakuan atas perjuangan mereka. Anak-anak heboh membayangkan dirinya bangga memegang piala dan dikalungi medali, bak pemain kelas internasional.

Setiap langkah yang menjelma suatu perjalanan apapun, membutuhkan pengakuan di ujung sana, karena hakikat hidup adalah cinta. Dan bunga cinta adalah pengakuan. Wallahualam.***

Catatan: Tulisan ini dihadiahkan bagi para follower blog saya terutama dari kelompok atau institusi pendidikan terpencil di mana pun



Leave a comment

About Me

A scratch of blazes of senses and thoughts while playing with adults, children, natures, and words!

Newsletter